1. Taksonomi dan Karakter Morfologi
Nematoda entomopatogen tergolong dalam famili Steinernematidae dan
Heterorhabditidae termasuk dalam kelas Secernenta, super famili Rhabditoidea,
ordo Rhabditida. Steinernematidae dan Heterorhabditidae masing-masing family
hanya terdiri dari satu genus, yaitu berturut-turut Steinernema dan
Heterorhabditis (Poinar 1979; Woodring & Kaya 1988; CABI 2002), tetapi
menurut Kaya dan Stock (1997) Steinernematidae memiliki dua genus, yaitu
Steinernema dan Neosteinernema.
Ordo Rhabditida tidak memiliki stilet. Alat pencernannya terdiri
dari stoma, esophagus yang terdiri dari corpus (pro- dan metacarpus), isthmus
dan bulb, dan saluran pencernaan. Pori eksretori Steinernamatidae teletak di
depan cincin syaraf, sedangkan Heterorhabditidae di belakang cincin syaraf.
Ukuran tubuh Steinernematidae bervariasi, dengan diameter 23-45 mikron dan
panjang 438- 1448 mikron, sedangkan Heterorhabditidae diameter 24-29 mikron dan
panjang 520-800 mikron (Wouts 1991).
2. Siklus Hidup
Nematoda mengalami perkembangan dari telur, juvenile, kemudian
menjadi dewasa. Pada umumnya mengalami empat kali pergantian kulit sebelum
dewasa. Pergantian kulit terjadi di dalam telur, di lingkungan luar, dan di dalam
tubuh serangga inangnya ( Poinar 1979; Wouts 1991).
Siklus hidup nematoda entomopatogen biasanya terbagi dalam dua fase,
yaitu fase infektif dan fase reproduktif. Fase infektif adalah fase larva III
atau disebut juvenil infektif (JI) yang dikenal sebagai dauer juvenile yang
secara morfologi dan fisiologi teradaptasi untuk tetap hidup dalam jangka waktu
yang lama di lingkungan luar sampai menemukan serangga inangnya, kemudian
mencapai fase reproduksi di dalam tubuh serangga inangnya (Poinar 1979; Wouts 1991;
Kaya & Stock 1997).
Tubuh JI masih terbungkus dalam kutikula larva II yang berfungsi
sebagai pelindung dari gangguan lingkungan fisik, mikroorganisme dan
invertebrata yang lain. Fase infektif ini merupakan fase yang paling penting,
sebab JI dapat aktif mencari serangga inang. Setelah menemukan inang, nematoda
akan masuk kedalam tubuh serangga inang dengan cara melakukan penetrasi melalui
lubang alami (mulut, anus, dan spirakel) atau kutikula yang tipis. Di dalam
rongga tubuh serangga inang, nematoda melepaskan bakteri simbion, dan akan
menyebabkan kematian serangga inang dalam waktu 24-28 jam (Poinar 1979; Wouts
1991; Kaya et al. 1993a; Kaya & Stock 1997).
Fase reproduktif antara Steinernematidae dan Heterorhabditidae
terdapat perbedaan. Genarasi pertama Steinernematidae yang dihasilkan di dalam
tubuh serangga inang terdiri dari nematoda betina dan jantan, sedangkan
generasi pertama dari Heterorhabditidae merupakan hermafrodit, dan generasi
berikutnya menghasilkan nematoda betina dan jantan (Poinar 1979; Kaya &
Stock 1997).
Nematoda akan memproduksi satu sampai tiga generasi di dalam inang
yang sama dan memproduksi generasi baru dalam waktu 7-10 hari. Setelah nutrisi
habis JI akan keluar dari tubuh inang, dalam jumlah ratusan sampai ribuan untuk
mencari inang yang baru (Poinar 1979; Wouts 1991). Biasanya JI Steinernematidae
keluar dari tubuh inangnya dalam 8-10 hari setelah terinfeksi dan JI
Heterorhabditidae keluar setelah 14-15 hari (Wouts 1991).
3. Simbiosis Mutualisme
Steinernamatidae dan Heterorhabditidae dapat menginfeksi dan
membunuh serangga dengan bantuan bakteri simbion. Steinernematidae bersmbiosis
dengan bakteri Xenorhabdus spp. sedangkan Heterorhabditidae bersimbiosis dengan
bakteri Photorhabdus spp. (Molina et al. 2007). Xenorhabdus dan Photorhabdus
adalah bakteri gram positif (Forst et al. 1997a). Interaksi antara nematoda dan
bakteri simbion dapat memberikan beberapa keuntungan, di antaranya yaitu
membunuh inang secara cepat karena terjadinya cepticemia, menyediakan nutrisi
serta terciptanya lingkungan yang cocok bagi perkembangan dan reproduksi
nematoda. Biasanya bakteri simbion ini sangat spesifik terhadap jenis nematode
tertentu. Nematoda berasosiasi dengan bakteri secara mutualistik, yaitu masing
masing saling bergantung dan membutuhkan. Bakteri tidak dapat hidup dan tidak
pernah ditemukan secara tersendiri di alam selain di dalam tubuh nematoda.
Nematoda mendapatkan nutrisi sangat bergantung pada produktivitas bakteri.
Selain itu, nematoda memberi proteksi dan sebagai vektor bagi bakteri dari satu
inang ke inang yang lainnya, sedangkan bakteri dapat mematahkan mekanisme
pertahanan serangga inang terhadap infeksi nematoda dengan toksin yang
dihasilkannya (Poinar 1979; Wouts 1991; Kaya et al. 1993a).
Bakteri simbion ini terdapat di dalam saluran pencernaan JI dan
mengeluarkan protein antibiotik (bakteriosin), yaitu senyawa anti mikroba yang
dapat menekan kolonisasi mikroba sekunder pada serangga inang (Poinar 1979).
Biasanya sel bakteri mulai dilepaskan ke dalam hemolimfa serangga setelah nematoda
entomopatogen masuk kedalam tubuh serangga. Saluran pencernaan nematoda yang
semula tertutup mulai aktif bekerja. Sel-sel bakteri berkembang biak, kemudian
mematikan serangga akibat toksin yang dihasilkannya dalam waktu 24-48 jam.
Bersamaan dengan itu enzim-enzim yang dihasilkan bakteri memecah jaringan tubuh
serangga menjadi nutrisi yang sesuai bagi nematoda. Antibiotik/bakteriosin yang
dihasilkan bakteri dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme sekunder yang
kompetitif terhadap nematoda. Jaringan tubuh serangga yang telah dikonversi
oleh bakteri ini dimanfaatkan oleh nematode sebagai nutrisi untuk hidup dan
berkembang biak (Wouts 1991; Kaya et al. 1993).
Selain memiliki potensi sebagai agens hayati terhadap beberapa jenis
serangga hama, nematoda entomopatogen juga memiliki potensi untuk pengendalian
nematoda parasit tumbuhan. Hasil penelitian menunjukan bahwa nematoda
entomopatogen yang berasosiasi dengan bakteri dapat mengganggu infeksi dan
reproduksi beberapa jenis nematoda parasit tanaman (Grewal et al. 1999).
Meloidogyne spp.
1. Taksonomi dan Karakter Morfologi
Menurut Dropkin (1991) Meloidogyne spp. termasuk dalam ordo
Tylenchida, subordo Tylenchina, famili Heteroderoidea. Betina dewasa memiliki
bentuk tubuh yang khas, yaitu seperti buah pir dengan bagian anterior yang
menonjol ke depan serta bagian posterior yang membulat dan berekor. Panjang
betina dewasa lebih dari 0,5 mm dan diameternya 0,3-0,4 mm dengan stilet yang
lemah dan panjangnya 12-15 μm, melengkung ke arah dorsal serta mempunyai knob yang
jelas pada bagian pangkalnya. Nematoda jantan dewasa berbentuk memanjang
bergerak lambat di dalam tanah, panjangnya bervariasi (maksimum 2 mm),
kepalanya tidak berlekuk, stiletnya hampir dua kali panjang stilet betina,
ekornya pendek dan membulat, mempunyai satu atau dua spikula, sedangkan larva
stadia dua (L2) panjangnya 0,3-0,6 mm dengan stilet halus.
2. Siklus Hidup
Siklus hidup nematoda puru akar terdiri atas telur diletakkan oleh
betina dewasa dalam satu paket, berkembang dan terbentuk larva. Larva-larva
tersebut mengalami pergantian kulit pertama di dalam telur menjadi larva
instar-2 (L2) kemudian keluar dari cangkang telur masuk ke dalam tanah. L2
masuk ke dalam akar, melalui daerah elongasi (di belakang ujung akar) dan
merangsang terbentuknya sel-sel raksasa (giant cells) dan terjadinya hipertrofi
dan hiperplasis pada sel-sel yang membentuk puru akar di sekitar tusukan
stilet. Puru akar terbentuk bersamaan dengan berkembangnya larva dari L2
menjadi L3, L4 dan dewasa. Setelah dewasa betina tetap berada di dalam akar,
sedangkan jantan meninggalkan akar, hidup bebas di dalam tanah (Kalshoven
1981).
Meloidogyne spp. mempunyai kisaran inang yang sangat luas, termasuk
berbagai jenis gulma dan tanaman budidaya (Dropkin 1989). Iklim tropik dan
subtropik merupakan kondisi yang ideal bagi perkembangan Meloidogyne spp.
Banyak nematoda yang berasosiasi dengan tanaman kacang-kacangan. Nematoda dapat
berkembang secara cepat dan mempunyai daya rusak yang besar. Serangan berat
yang diakibatkan nematoda dapat menyebabkan tanaman layu dan mati. Gejala
serangan yang diakibatkan nematoda ini yaitu tanaman pertumbuhannya terhambat
dan kerdil, dengan perakaran yang terdapat banyak bintil atau disebut juga puru
akar (Endah & Novizan 2002).
Interaksi Nematoda Entomopatogen - Nematoda Parasit
Tumbuhan
Nematoda entomopatogen selain dapat digunakan untuk mengendalikan
serangga hama, dapat digunakan sebagai agens pengendalian hayati terhadap
nematoda parasit tumbuhan dan sekaligus dapat mengurangi penggunaan nematisida
sintetik (Nyczepir & Bertrand 2000).
Hasil penelitian menunjukan bahwa nematoda entomopatogen yang
berasosiasi dengan bakteri dapat mengganggu infeksi dan reproduksi beberapa
jenis nematoda parasit tanaman (Grewal et al. 1999). Interaksi antagonis antara
nematoda entomopatogen dan nematoda parasit tanaman ditemukan pertama kali oleh
Bird dan Bird (1986) dalam percobaan di rumah kaca yang menunjukan bahwa
penurunan infeksi Meloidogyne javanica pada tanaman tomat berkaitan erat dengan
keberadaan Steinernema glaseri (Steiner). Hasil interaksi nematode
entomopatogen dan nematoda parasit tanaman bervariasi, tergantung spesies
nematoda entomopatogen dengan nematoda parasit tanaman, cara aplikasi dan
metode evaluasi yang digunakan (Lewis dan Grewal 2006). Di Virginia keberhasilan
pengendalian nematoda parasit tumbuhan menggunakan nematode entomopatogen yang
dilakukan di rumah kaca mencapai 75% (Perez et al. 2004).
Arti Ekonomi
Penggunaan nematisida sintetik dalam penanggulangan serangan
nematode parasit tumbuhan di lapangan telah banyak dilakukan. Mengingat
penggunaan nematisida secara tidak bijaksana dapat berakibat buruk bagi
lingkungan (Nyczepir, 1991; Ritchi et al. 2003), maka diperlukan suatu
alternatif, satu di antaranya adalah penggunaan agens hayati. Pengendalian nematoda
parasit tumbuhan dengan menggunakan nematoda entomopatogen merupakan salah satu
alternatif untuk mengurangi penggunaan nematisida sintetik di lapangan.
Nematoda entomopatogen sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai agens
hayati dalam pengendalian nematoda parasit tumbuhan, khususnya NPA di masa
mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar